MOCHEIA

Bergerak liar masyarakat itu di tengah sebuah tugu hitam. Boneka pahatan yang mau dimandikan dalam upacara itu tegak di tengah-tengah. Namanya Moche. Aku sendiri tidak tahu kenapa disebut demikian, tapi menurut tradisi, itu nama nenek moyang kami. Moche berjenis kelamin laki-laki. Tidak ada yang protes kenapa harus laki-laki dan bukan perempuan. Yang membuat sebuah suku menjadi masyarakat kan perempuan. Dia yang melahirkan dan memperbanyak generasi sebuah suku. Selayaknya seorang perempuan dihormati. Atau sekurang-kurangnya, sebuah boneka pahatan berjenis kelamin perempuan harus disandingkan di samping Moche. Pernah memang aku bertanya tentang hal ini. Mula-mula kepada Pornea, kakak laki-lakiku.
Pornea, kau tahu kenapa Moche berjenis kelamin laki-laki? Tapi aku tidak memperoleh jawaban yang memadai.
Itu sudah tradisi turun temurun. Tidak perlu dipertanyakan lagi. Kata Pornea kepadaku. Lantas aku bertanya pada Namate, ayahku dan sekaligus kepala masyarakat ini.
Ayah, kenapa Moche itu laki-laki?
Kepala suku dulu adalah laki-laki, bukan perempuan. Yang terkuat dari yang terkuat. Dan Moche adalah yang paling kuat dari kaumnya waktu itu. Dia adalah pendiri masyarakat ini. Kamu harus paham itu. Jawab ayah kepadaku
Moche punya istri kan, ayah? Kenapa tidak sekalian kita menghormati istri Moche? Tanyaku lagi
Perempuan itu kaum kelas dua, tugas mereka adalah melahirkan dan melayani kaum laki-laki.
Kasihan perempuan. Kataku.
Kamu terlalu dekat sama Bunda. Tambah ayahku
Mereka sekarang lebih liar dari yang biasa. Suara cha cha cha membuncah, disertai ringkihan dan pekikan. Semua seperti kerasukan. Aku duduk di samping kiri ayah. Ayah di tengah. Dan sebelah kanannya, Pornea. Tentang duduk, memang selalu punya aturan. Di kanan, selalu anak sulung dan sebelah kiri, anak bungsu. Sebuah aturan yang membingungkan, seandainya tidak kutanyakan kenapa harus begitu.
Bunda, kenapa harus ada aturan duduk seperti itu? Tanyaku pada satu kesempatan
Kamu anak bungsu, sementara Pornea adalah yang sulung. Yang kanan menunjukkan ahli waris, siapa yang akan menggantikan ayah berikutnya. Jawab Bunda.
Aku?
Kamu punya kedudukan lain. Yang Mulia dan Dipertuan Agung Bergelar Pelerek, Hakim yang adil.
Bunda? Bunda hanya tersenyum. Ia menatapku dalam-dalam. Memelukku tidak seperti biasanya. Ada sedikit perasaan terluka, tercabik mendengar pertanyaan polosku itu. Lantas ia berbisik.
Aku yang melahirkan dan membesarkanmu. Ingat itu Somus.
Ya, kau adalah Bundaku
Terima kasih, Somus
Tiba-tiba saja para perempuan, termasuk Bunda meninggalkan arena. Mereka yang duduk terpisah dari laki-laki itu, kini semakin jauh dari masyarakatnya sendiri, dari laki-laki yang dilahirkan sebagai putera-putera mereka, dan laki-laki yang disebutnya suami mereka. Satu per satu mereka berlalu, dan masuk ke Pidra, sebuah pondok khusus untuk para perempuan berkumpul, kalau ada upacara seperti ini.
Acara inti dari permandian ini akan segera dimulai. Diawali dengan bunyi gendang, satu-satu penuh wibawa. Ayah mengangkat Moche, lebih tinggi dari semua yang ada. Suasana menjadi sunyi. Tiada satupun yang bergerak. Diam dan hening. Bersamaan dengan gerak turun Moche, semua menyembah ke bawah, rata dengan tanah. Ayah menyanyikan sebuah lagu yang sama sekali belum kupahami, dan sesekali para laki-laki itu memekik-mekik, menyambut nyanyian ayah. Kemudian ayah masuk ke Kastar, tempat permandian suci dan mulai memandikan Moche. Semua laki-laki menyanyikan lagu kemuliaan.
Sementara itu, di Pidra, beberapa perempuan menjerit kesakitan. Mereka menerima takdir mereka sendiri atas nama perempuan yang dijelmakan dalam kodrat mereka. Jeritan itu datang dari para perempuan yang sudah melahirkan dua orang laki-laki, tak terhitung perempuan. Yang penting dua orang laki-laki. Yang satu sulung, yang lebih dulu dilahirkan, entah untuk yang ke berapa dari perempuan, dan yang lainnya bungsu. Sesudah itu, indung telur dari para perempuan itu akan diambil dalam upacara Pakso, bersamaan dengan upacara permandian ini.
Sakitnya minta ampun. Kata Bunda waktu kutanya tentang hal itu
Bunda ditusuk begitu?
Ya, bagian yang ini dirobek dengan paksa. Kata Bunda lagi, sambil menunjukkan padaku bekas luka cukup panjang yang menggores di bagian bawah pusatnya.
Syukurlah Somus, kamu tidak dilahirkan sebagai perempuan
Lalu di mana kakak atau adik perempuan Somus?
Kali ini Bunda tidak bisa lagi menyembunyikan penderitaan hatinya di depanku. Genangan air mata yang sering kali menggayut tatkala mencoba membuka lembaran pahit dalam hatinya, kini mengalir pelan-pelan, kemudian semakin deras.
Bunda menangis, kenapa? Tanyaku
Sesaat Bunda diam. Membiarkan semua penderitaan itu mengurai bersama air mata yang jatuh. Ia kemudian menghela napas dalam-dalam, mengangkat mukanya padaku, lurus dan tajam. Aku tak mampu beradu pandang sama Bunda. Ada aura lain yang merasuk ke dalam tubuh Bunda. Aku jadi takut dan tertunduk.
Kamu mau tahu, Somus?
Aku hanya bisa menggangguk, dan tiada kata-kata yang sanggup keluar dari mulutku. Semua terasa terkuci oleh hawa lain yang sedang melingkupi aku dan Bunda.
Kamu mau tahu, Somus? Tanya Bunda lagi
I-ya. Jawabku terbata-bata
Pandang mata Bunda, Somus. Kata Bunda sambil memegang pundakku
Selain kamu dan Pornea, masih ada satu lagi. Dia kakakmu dan adik Pornea. Jadi kamu tiga bersaudara. Namanya Ambria.
Di mana Ambria, Bunda? Aku berani bertanya
Itu sudah menjadi takdirnya
Takdir?
Ya, takdir dari seorang bayi perempuan yang dilahirkan dari keluarga seorang pemimpin masyarakat, seperti ayahmu.
Aku belum mengerti.
Setiap pemimpin masyarakat, hanya boleh mempunyai anak laki-laki. Dua orang laki-laki, dan tidak boleh ada satu pun yang berjenis kelamin perempuan. Jika bayi perempuan yang dilahirkan, hal itu dianggap sebagai aib untuk masyarakat ini. Kamu tahu kan Somus, laki-laki yang memegang tradisi kepemimpinan masyarakat kita. Mereka tidak menginginka
n adanya pemimpin perempuan. Karena itu bayi perempuan dari keluarga pemimpin dianggap sebuah aib. Jelas Bunda
Jadi. Aku menyimpulkan
Itulah takdirnya
Jadi, Ambria dihanyutkan di sungai suci. Tidak bisa...tidak bisa, ini tidak adil!
Itu hukum adat di sini, Somus. Kita hanya menyembahnya saja.
Somus dan Pornea, dua putera dari seorang bunda, punya kebencian yang sama terhadap ayah mereka. Somus mencintai bundanya, karena itu sangat membenci ayah dan perlakuannya pada Bunda. Pornea, boneka ayah, juga sangat membenci ayahnya, karena selalu berada di bawah bayang-bayang primordial ayahnya itu. Diam-diam mereka menyusun sebuah rencana. Yang tak terduga. Dan sama sekali bukan tujuan mereka untuk mengubah takdir masyarakatnya sendiri. Kepuasaan dari rasa benci yang dalam, hanya itu yang mau mereka capai.
Aku takut
Apa yang kau takutkan, Somus? Tanya Pornea
Kita telah membunuh ayah. Masyarakat akan bangkit mengejar kita. Mereka akan balas dendam terhadap kita! Tambahku
Tidak mungkin terjadi. Sekarang kitalah yang berkuasa. Kitalah ahli warisnya. Mereka tentu saja percaya kalau ayah mati diterkam binatang buas. Dan mereka akan memberikan jiwa mereka kepada kita. Kitalah penguasa masyarakat ini! Kata Pornea
Tapi bukan itu rencana kita. Kita hanya mau membunuh ayah untuk menyelamatkan bunda. Supaya bunda bebas dari belenggu ayah kita, tidak lagi diperlakukan rendah di hadapan mata kita. Supaya para perempuan di sini pun mengalami hal yang sama.
Kau keliru Somus!
Kau yang keliru Pornea!
Ka-u, tidak mau jadi penguasa dari masyarakat ini?
Pornea, justru kau telah melenceng dari maksud sesungguhnya!
Persetan!
Keterlaluan Pornea, kau mengkhianatiku dan masyarakat ini!
Ah!teriak Pornea
Ya, mati kau juga dan susullah ayah kita!Seruku dengan pedang bersimbah darah.
Sekonyong-konyong datang sang Bunda.
Somus, apa yang kau lakukan terhadap Pornea? Jerit Mimes
Aku telah membunuhnya, Bunda!
Teganya kau teteskan darah saudaramu sendiri oleh pedang di tangan?
Dia telah membunuh ayah, Bunda!
Namate juga mati?
Ya, di hutan. Dan mayatnya dihanyutkan ke sungai suci.
Somus, kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu di depan sidang yang mulia, Si Tuan Agung Pelerek.
Bunda?
Ya, segera bersiaplah kau, tanggalkan kebesaran masyarakat ini dan tradisimu sebagai laki-laki di sini!
Bunda, ini semua demi Bunda.
Demi aku, maksudmu?
Kami mau membebaskan Bunda dari ayah, karena tak tahan melihat Bunda diperlakukan sedemikian hina, sama rendahnya dengan seorang hamba
Itu sudah menjadi tradisi turun temurun di sini, kau tidak bisa melawan
Kita hanya butuh perubahan
Apa yang kau pikirkan, Somus?
Sekarang tidak ada siapa-siapa lagi. Tampuk kepemimpinan sudah kosong. Ayah telah tiada, berikut ahli warisnya, Pornea pun telah mati. Sekaranglah saatnya, Bunda. Nasib kaum perempuan harus diubah. Masyarakat harus diubah. Dan itu semua ada di tangan Bunda!
Aku?
Siapa lagi!
Saat yang ditunggu-tunggu itu telah datang
Lalu kau?
Kita butuh darah segar untuk mengembalikan ketidakteraturan yang sudah terjadi. Darah ayah dan Porneo harus kita tebus.
Darah siapa lagi
Darah seorang pelaku
Tidak, ti-dak Somus
Biar kami bersatu dan tinggal dalam tubuhmu
Tidaakk! Aku tidak mau kehilangan kamu lagi. Aku telah kehilangan Namate, Pornea, dan Ambria. Tidak kamu!
Demi kekuasaan yang mumpuni, perlu tiga jiwa laki-laki untuk melengkapinya. Namate tetap suami ibu, aku dan Pornea tetap anak-anak Bunda. Sekarang aku telah siap. Supaya kembali kita bersatu, dalam jiwamu kita membentuk getho
Tapi masyarakat tidak akan menyetujui hal ini!
Getho, peleburan tiga jiwa laki-laki dalam satu keluarga pemimpin, merupakan hukum tertinggi pemilihan seorang pemimpin tanpa ahli waris. Dan itu tidak memandang siapa. Mulai sekarang tidak ada lagi Moche. Yang ada adalah Mocheia, seorang perempuan. Bunda junjunganku yang agung, terimalah persembahan jiwaku
Oh Somus, kemari Somus, mendekatlah padaku. Aku mencintaimu, Somus. Kamu anak yang berbakti. Bungsu yang senantiasa mencintai Bunda. Kemarilah, Somus!Ajak Mimes.
Somus mendekat. Pedang yang bersimbah darah itu beralih ke tangan Mimes. Somus memeluk Bundanya yang tercinta.
Bun-da.....B-u-n-d-a!
Somus pun mati di tangan pedang yang sama.(*)
Pornea, kau tahu kenapa Moche berjenis kelamin laki-laki? Tapi aku tidak memperoleh jawaban yang memadai.
Itu sudah tradisi turun temurun. Tidak perlu dipertanyakan lagi. Kata Pornea kepadaku. Lantas aku bertanya pada Namate, ayahku dan sekaligus kepala masyarakat ini.
Ayah, kenapa Moche itu laki-laki?
Kepala suku dulu adalah laki-laki, bukan perempuan. Yang terkuat dari yang terkuat. Dan Moche adalah yang paling kuat dari kaumnya waktu itu. Dia adalah pendiri masyarakat ini. Kamu harus paham itu. Jawab ayah kepadaku
Moche punya istri kan, ayah? Kenapa tidak sekalian kita menghormati istri Moche? Tanyaku lagi
Perempuan itu kaum kelas dua, tugas mereka adalah melahirkan dan melayani kaum laki-laki.
Kasihan perempuan. Kataku.
Kamu terlalu dekat sama Bunda. Tambah ayahku
Mereka sekarang lebih liar dari yang biasa. Suara cha cha cha membuncah, disertai ringkihan dan pekikan. Semua seperti kerasukan. Aku duduk di samping kiri ayah. Ayah di tengah. Dan sebelah kanannya, Pornea. Tentang duduk, memang selalu punya aturan. Di kanan, selalu anak sulung dan sebelah kiri, anak bungsu. Sebuah aturan yang membingungkan, seandainya tidak kutanyakan kenapa harus begitu.
Bunda, kenapa harus ada aturan duduk seperti itu? Tanyaku pada satu kesempatan
Kamu anak bungsu, sementara Pornea adalah yang sulung. Yang kanan menunjukkan ahli waris, siapa yang akan menggantikan ayah berikutnya. Jawab Bunda.
Aku?
Kamu punya kedudukan lain. Yang Mulia dan Dipertuan Agung Bergelar Pelerek, Hakim yang adil.
Bunda? Bunda hanya tersenyum. Ia menatapku dalam-dalam. Memelukku tidak seperti biasanya. Ada sedikit perasaan terluka, tercabik mendengar pertanyaan polosku itu. Lantas ia berbisik.
Aku yang melahirkan dan membesarkanmu. Ingat itu Somus.
Ya, kau adalah Bundaku
Terima kasih, Somus
Tiba-tiba saja para perempuan, termasuk Bunda meninggalkan arena. Mereka yang duduk terpisah dari laki-laki itu, kini semakin jauh dari masyarakatnya sendiri, dari laki-laki yang dilahirkan sebagai putera-putera mereka, dan laki-laki yang disebutnya suami mereka. Satu per satu mereka berlalu, dan masuk ke Pidra, sebuah pondok khusus untuk para perempuan berkumpul, kalau ada upacara seperti ini.
Acara inti dari permandian ini akan segera dimulai. Diawali dengan bunyi gendang, satu-satu penuh wibawa. Ayah mengangkat Moche, lebih tinggi dari semua yang ada. Suasana menjadi sunyi. Tiada satupun yang bergerak. Diam dan hening. Bersamaan dengan gerak turun Moche, semua menyembah ke bawah, rata dengan tanah. Ayah menyanyikan sebuah lagu yang sama sekali belum kupahami, dan sesekali para laki-laki itu memekik-mekik, menyambut nyanyian ayah. Kemudian ayah masuk ke Kastar, tempat permandian suci dan mulai memandikan Moche. Semua laki-laki menyanyikan lagu kemuliaan.
Sementara itu, di Pidra, beberapa perempuan menjerit kesakitan. Mereka menerima takdir mereka sendiri atas nama perempuan yang dijelmakan dalam kodrat mereka. Jeritan itu datang dari para perempuan yang sudah melahirkan dua orang laki-laki, tak terhitung perempuan. Yang penting dua orang laki-laki. Yang satu sulung, yang lebih dulu dilahirkan, entah untuk yang ke berapa dari perempuan, dan yang lainnya bungsu. Sesudah itu, indung telur dari para perempuan itu akan diambil dalam upacara Pakso, bersamaan dengan upacara permandian ini.
Sakitnya minta ampun. Kata Bunda waktu kutanya tentang hal itu
Bunda ditusuk begitu?
Ya, bagian yang ini dirobek dengan paksa. Kata Bunda lagi, sambil menunjukkan padaku bekas luka cukup panjang yang menggores di bagian bawah pusatnya.
Syukurlah Somus, kamu tidak dilahirkan sebagai perempuan
Lalu di mana kakak atau adik perempuan Somus?
Kali ini Bunda tidak bisa lagi menyembunyikan penderitaan hatinya di depanku. Genangan air mata yang sering kali menggayut tatkala mencoba membuka lembaran pahit dalam hatinya, kini mengalir pelan-pelan, kemudian semakin deras.
Bunda menangis, kenapa? Tanyaku
Sesaat Bunda diam. Membiarkan semua penderitaan itu mengurai bersama air mata yang jatuh. Ia kemudian menghela napas dalam-dalam, mengangkat mukanya padaku, lurus dan tajam. Aku tak mampu beradu pandang sama Bunda. Ada aura lain yang merasuk ke dalam tubuh Bunda. Aku jadi takut dan tertunduk.
Kamu mau tahu, Somus?
Aku hanya bisa menggangguk, dan tiada kata-kata yang sanggup keluar dari mulutku. Semua terasa terkuci oleh hawa lain yang sedang melingkupi aku dan Bunda.
Kamu mau tahu, Somus? Tanya Bunda lagi
I-ya. Jawabku terbata-bata
Pandang mata Bunda, Somus. Kata Bunda sambil memegang pundakku
Selain kamu dan Pornea, masih ada satu lagi. Dia kakakmu dan adik Pornea. Jadi kamu tiga bersaudara. Namanya Ambria.
Di mana Ambria, Bunda? Aku berani bertanya
Itu sudah menjadi takdirnya
Takdir?
Ya, takdir dari seorang bayi perempuan yang dilahirkan dari keluarga seorang pemimpin masyarakat, seperti ayahmu.
Aku belum mengerti.
Setiap pemimpin masyarakat, hanya boleh mempunyai anak laki-laki. Dua orang laki-laki, dan tidak boleh ada satu pun yang berjenis kelamin perempuan. Jika bayi perempuan yang dilahirkan, hal itu dianggap sebagai aib untuk masyarakat ini. Kamu tahu kan Somus, laki-laki yang memegang tradisi kepemimpinan masyarakat kita. Mereka tidak menginginka

Jadi. Aku menyimpulkan
Itulah takdirnya
Jadi, Ambria dihanyutkan di sungai suci. Tidak bisa...tidak bisa, ini tidak adil!
Itu hukum adat di sini, Somus. Kita hanya menyembahnya saja.
Somus dan Pornea, dua putera dari seorang bunda, punya kebencian yang sama terhadap ayah mereka. Somus mencintai bundanya, karena itu sangat membenci ayah dan perlakuannya pada Bunda. Pornea, boneka ayah, juga sangat membenci ayahnya, karena selalu berada di bawah bayang-bayang primordial ayahnya itu. Diam-diam mereka menyusun sebuah rencana. Yang tak terduga. Dan sama sekali bukan tujuan mereka untuk mengubah takdir masyarakatnya sendiri. Kepuasaan dari rasa benci yang dalam, hanya itu yang mau mereka capai.
Aku takut
Apa yang kau takutkan, Somus? Tanya Pornea
Kita telah membunuh ayah. Masyarakat akan bangkit mengejar kita. Mereka akan balas dendam terhadap kita! Tambahku
Tidak mungkin terjadi. Sekarang kitalah yang berkuasa. Kitalah ahli warisnya. Mereka tentu saja percaya kalau ayah mati diterkam binatang buas. Dan mereka akan memberikan jiwa mereka kepada kita. Kitalah penguasa masyarakat ini! Kata Pornea
Tapi bukan itu rencana kita. Kita hanya mau membunuh ayah untuk menyelamatkan bunda. Supaya bunda bebas dari belenggu ayah kita, tidak lagi diperlakukan rendah di hadapan mata kita. Supaya para perempuan di sini pun mengalami hal yang sama.
Kau keliru Somus!
Kau yang keliru Pornea!
Ka-u, tidak mau jadi penguasa dari masyarakat ini?
Pornea, justru kau telah melenceng dari maksud sesungguhnya!
Persetan!
Keterlaluan Pornea, kau mengkhianatiku dan masyarakat ini!
Ah!teriak Pornea
Ya, mati kau juga dan susullah ayah kita!Seruku dengan pedang bersimbah darah.
Sekonyong-konyong datang sang Bunda.
Somus, apa yang kau lakukan terhadap Pornea? Jerit Mimes
Aku telah membunuhnya, Bunda!
Teganya kau teteskan darah saudaramu sendiri oleh pedang di tangan?
Dia telah membunuh ayah, Bunda!
Namate juga mati?
Ya, di hutan. Dan mayatnya dihanyutkan ke sungai suci.
Somus, kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu di depan sidang yang mulia, Si Tuan Agung Pelerek.
Bunda?
Ya, segera bersiaplah kau, tanggalkan kebesaran masyarakat ini dan tradisimu sebagai laki-laki di sini!
Bunda, ini semua demi Bunda.
Demi aku, maksudmu?
Kami mau membebaskan Bunda dari ayah, karena tak tahan melihat Bunda diperlakukan sedemikian hina, sama rendahnya dengan seorang hamba
Itu sudah menjadi tradisi turun temurun di sini, kau tidak bisa melawan
Kita hanya butuh perubahan
Apa yang kau pikirkan, Somus?
Sekarang tidak ada siapa-siapa lagi. Tampuk kepemimpinan sudah kosong. Ayah telah tiada, berikut ahli warisnya, Pornea pun telah mati. Sekaranglah saatnya, Bunda. Nasib kaum perempuan harus diubah. Masyarakat harus diubah. Dan itu semua ada di tangan Bunda!
Aku?
Siapa lagi!
Saat yang ditunggu-tunggu itu telah datang
Lalu kau?
Kita butuh darah segar untuk mengembalikan ketidakteraturan yang sudah terjadi. Darah ayah dan Porneo harus kita tebus.
Darah siapa lagi
Darah seorang pelaku
Tidak, ti-dak Somus
Biar kami bersatu dan tinggal dalam tubuhmu
Tidaakk! Aku tidak mau kehilangan kamu lagi. Aku telah kehilangan Namate, Pornea, dan Ambria. Tidak kamu!
Demi kekuasaan yang mumpuni, perlu tiga jiwa laki-laki untuk melengkapinya. Namate tetap suami ibu, aku dan Pornea tetap anak-anak Bunda. Sekarang aku telah siap. Supaya kembali kita bersatu, dalam jiwamu kita membentuk getho
Tapi masyarakat tidak akan menyetujui hal ini!
Getho, peleburan tiga jiwa laki-laki dalam satu keluarga pemimpin, merupakan hukum tertinggi pemilihan seorang pemimpin tanpa ahli waris. Dan itu tidak memandang siapa. Mulai sekarang tidak ada lagi Moche. Yang ada adalah Mocheia, seorang perempuan. Bunda junjunganku yang agung, terimalah persembahan jiwaku
Oh Somus, kemari Somus, mendekatlah padaku. Aku mencintaimu, Somus. Kamu anak yang berbakti. Bungsu yang senantiasa mencintai Bunda. Kemarilah, Somus!Ajak Mimes.
Somus mendekat. Pedang yang bersimbah darah itu beralih ke tangan Mimes. Somus memeluk Bundanya yang tercinta.
Bun-da.....B-u-n-d-a!
Somus pun mati di tangan pedang yang sama.(*)
[1] Seluruh isi ceritera dan para pelaku, berikut nama dan istilah yang dipakai di dalam ceritera ini adalah rekaan belaka. Kalau pun ada kesamaan nama dan istilah, hal itu bukanlah upaya yang disengajakan, jauh dari sebuah motif untuk mengurangi nilai dari nama dan istilah tertentu, atau bahkan menyinggung orang atau kelompok tertentu.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda