Selasa, 25 Maret 2008

ANTROPHOS

Akulah Antrophos, kata Jefta
Tidak. Kau hanya roh biasa, yang lemah lagi idiot, sergah Phobia
Sekarang kamu tidak lagi membumi, jasadmu tinggal seonggok daging yang layu dan kering, jiwamu melayang-layang tanpa tubuh. Kau tak bisa dikendalikan lagi, kesadaranmu hilang. Dan kau bukan lagi Antrophos. Kau hanya mayat! lanjut Phobia
Hentikan, sudah kubilang hentikan! Aku akan kembali, mewujudkan impian tertinggiku, hidup dalam kemakmuran, menciptakan aturan sendiri, tidak mau ambil pusing dengan segala macam sosialisme, sebab aku self-sufficient seperti yang diramalkan Leibniz tempo dulu. Marah Jefta
Kau memusuhi sosialisme, berarti pula kau melakukan perlawanan terhadap kapitalisme. Kau bukan Marx sejati, tantang Phobia
Aku kan tidak datang dari dunia comberan, kelas bawah, mengapa aku harus pusing dengan perjuangan kelas Marx. Dia bukan levelku! jawab Jefta
Lalu kau siapa, Jefta yang agung? Tanya Phobia
Keliru. Jefta telah mati, yang hidup kini adalah Antrophos, tegas Jefta
Kau bermimpi. Antrophos itu hidup di alam kenyataan dan bukan dalam dunia maya, jelas Phobia
Aku nyata! Seru Jefta
Kamu nyata? Ejek Phobia
Kau tak percaya? Balas Jefta
Sungguh, kau tidak bisa diraba, kau tidak bisa dirasai, kau telah mati, jelas Phobia
Itu hanya jasadku, tapi rohku tidak! Optimisme Jefta, Lalu bagaimana kau mengadakan revolusi terhadap dunia? Kritik Phobia
Reinkarnasi. Antrophos yang hidup.
***


Jefta telah mati, kata Philos
Ini bukan kesalahan kita, dan semoga bukan pula kutukan buat kita, sambung Questia
Kau berpikir dalam alur dunia magis, itu kan dunia primitif. Kau maju dengan langkah mundur, sergah Pecunia
Lalu apa yang menjadi rasionalisasimu untuk memberikan kerangka penjelasan yang memadai atas kematian Jefta? Apa perlu sebuah penelitian yang akurat? Kematian kan sudah merupakan pengetahuan awali yang diwariskan turun temurun dan tidak ada satupun yang bisa menjelaskan secara lengkap! Kata Questia mencoba membela diri.
Misteri, maksud kamu? Tanya Philos yang dari tadi cuma bengong
I-ya, jawab Questia
Catatan harian Jefta, pada halaman pertama menjelaskan secara rinci tentang ramalan kematiannya dan itu seakan-akan sungguh terjadi pada dirinya, kata Pecunia lagi
Apa isinya, tanya Philos
Kalau tidak salah begini: kalau aku mati, barangkali jasadku menjadi layu dan kering, gugur seperti daun rontok di musim kemarau. Sesungguhnya aku tidak benar-benar mati, dan itu bukan karena kesalahanku, atau karena fragilitas kemanusiaanku. Aku mati, dan berarti aku beralih dari satu kehidupan yang lebih agung dan perkasa, lebih kuat, melebihi seratus ribu prajurit, menembus benteng paling kuat di dunia. Aku tidak mati. Aku hanya jatuh dan mengurai bersama bumi, seperti daun gugur yang memberi makan pada pohon dan tumbuhan, aku akan kembali, menitiskan rohku pada kemuliaan seorang Antrophos, yang abadi, dan tidak membutuhkan lagi kematian, sebab dia telah sempurna dalam dirinya sendiri. Akulah Antrophos, yang agung dan abadi! Demikian bunyinya, tak kukurangi dan tak kutambahi satu iota pun, kata Pecunia
Berarti ini satu genre baru dari evolusi Darwin, kata Philos
Dan butuh penelitian baru, tambah Questia
Apa kau sanggup memanggil roh untuk diwawancarai? Kau bisa mengukur secara kuantitatif dan kualitatif roh Jefta, dan menjadikannya sampel dari percobaanmu? Tanya Pecunia
Inilah kelemahan ilmu pengetahuan sebenarnya. Sepandai-pandainya ilmu pengetahuan, dan secanggih-canggihnya segala macam peralatan tekhnologi, sama sekali tidak mampu menyentuh apa yang disebut sebagai roh, sahut Philos
Agama? Tanya Questia
Agama positif hanya bisa menjelaskan tentang keberadaan roh yang ilahi dan ultim, dan kemudian disebut sebagai Tuhan, kata yang paling sering disebut oleh para penganut agama tertentu. Katanya Tuhan itu maha baik, maha adil, dan maha kuasa. Tidak ada satu kekuatan pun yang sanggup menandingi kekuatan Tuhan. Manusia bahkan tidak lebih dari sebuah makhluk, kalian percaya itu? Tanya Pecunia kepada kedua sahabatnya
Tuhan? Serentak Questia dan Philos meragu
Bukankah Jefta mati dalam usahanya memberontaki Tuhannya sendiri? Dia semula beragama, taat beriman, dan selalu mendengarkan pengajaran suci dari kitab suci dan para imam. Doanya lima waktu, tidak pernah alpa. Ibu Bapaknya sendiri sangat taat beribadah, jelas Philos
Tapi celakanya, kekayaan ayahnya pelan-pelan digerogoti oleh wabah korupsi, menganak pinak, dan tidak bisa disembuhkan lagi. Lalu hakim yang agung menjatuhkan vonis bangkrut. Dan sia-sialah segala keberagamaan keluarga besar Jefta. Tapi ayah dan ibunya tidak juga mau melepaskan diri dari Tuhan yang mereka yakini itu. Dia yang adil, maha baik dan penuh kuasa, hanya mampu memberikan linangan air mata pada kedua kelopak mata ibu Jefta, dan laki-laki perkasa seperti ayah Jefta, menjadi banci. Naas datang, ibunya Jefta gantung diri, dan ayahnya menjadi gila lantas menghilang tak tahu rimbanya. Sambung Questia
Dan dari situlah Jefta meninggalkan kita, lantas akrab sama Phobia, sahut Pecunia
Tapi siapakah Phobia? Tanya Questia
Teman baru Jefta! Jawab Philos
Phobia itu maya, tidak bisa dilihat atau diraba! Tambah Pecunia
Produk imajinasi, maksudnya? Tanya Questia lagi
Lebih dari itu, roh ciptaan Jefta! Timpal Pecunia
Jefta bisa menciptakan roh? Hebat dia! Kagum Questia
Roh yang menakutkan
Kekuatannya melebihi segala yang tumbuh di muka bumi
Dia penguasa baru
Dan menurut Jefta, Phobia telah membunuh Tuhan
Kemudian dia menjadi Phobia dan Tuhan sekaligus
Lantas dia mati untuk membuktikan kelahiran barunya
Dia sebut dirinya dengan Antrophos!
***
Ramai kerumunan orang. Berhimpit-himpitan tapi tidak peduli. Siang menyengat dan bau badan bercampur. Tua-muda, besar-kecil, hitam-putih, kaya-miskin, agama-atheis, tiada peduli. Kerumunan massa dalam angkatan baru, dan generasi baru terlahir dari rahim sabda yang keluar, berapi-api diwartakan oleh ketiga orang yang bernama masing-masing, Philos, Questia, dan Pecunia. Nama Jefta, sahabat mereka tidak pernah disebutkan. Dan hanya ada satu nama yang keluar, dengan bangganya dari mulut mereka, yaitu Antrophos.
Dalam kesesakan mereka terkesima. Antrophos, Antrophos, dewa yang agung,¡± sesekali mereka berseru. Philos, yang bijak itu, mengangkat tangan. Sekejap semua hening, dan mulailah dia berkata-kata.
Saudara-saudaraku, keyakinan dan kepercayaan yang tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan dunia serta ilmu pengetahuan modern, sudah saatnya untuk ditumbangkan. Kita bagai mengisap sekuntum bunga yang harum semerbak, tapi kenyataan di dalamnya, busuk dan kotor. Sudah lama segala institusi dunia, politik, ekonomi, budaya, agama membau dan kita turut terkubur di dalam kebusukan itu. Inti sarinya pun telah hilang. Kita terombang-ambing, tak berdaya meratapi perkembangan zaman yang kian cepat, dengan pemujaan yang sebegitu licik tapi nikmat dengan segala materialisme, yang instan solution dan hedonis. Agama, tidak mampu menghadirkan nilai bagi dunia, bahkan dipakai oleh para penganutnya untuk saling membunuh. Tuhan, semacam pelarian dari keluh kesah tak berdaya atas kekalahan kita terhadap dunia, sangat digemari oleh kalangan menengah ke bawah, dan ditinggalkan begitu saja oleh kaum elite. Kesenjangan sosial makin terjal saja, dan perikemanusiaan ditelanjangi untuk diperolok. Apakah kita mampu tinggal dalam semua kebusukan ini, dan bukannya bergerak untuk membebaskan diri, lantas membuat sebuah kelahiran baru?
Ti-dak! Ti-daakkk! Serempak semua menjawab persis sebuah teater kolosal. Kali ini Pecunia, raja uang itu angkat bicara.
Orde baru akan lahir, dan kita akan dibaptis secara baru, untuk kemudian terlahir secara baru pula. Orde baru itu ditandai dengan persamaan hak, kedudukan, martabat, dan tidak dibenarkan adanya kesenjangan kelas. Perjuangan kelas Marx, dengan demikian kita hapus. Agama, sebagai sebuah lembaga, dengan Tuhan sebagai yang sempurna, tempat keluh kesah ketidakberdayaan kita dialamatkan akan kita tumbangkan. Tuhan kita bunuh, dengan begitu kita dapat bergerak bebas.
Lalu siapakah Tuhan kita? Apa agama kita? Tanya kelompok imam di sebelah kanan
Antrophos, dialah yang akan memberikan tatatan dunia baru, dan sekaligus menjadi dewa kita. Antrophos adalah diri kita sendiri, dengan penuh keyakinan dan kepercayaan, kita bangkit dan mulai sadar akan siapa diri kita dan bagaimana kekuatan kita. Hanya ada satu yang sungguh-sungguh nyata, yaitu manusia dan yang lain-lainnya hanya produksi pikiran kita semata. Karena itu, agama kita adalah agama manusia, yang membumi, dan tidak lagi jauh di atas langit, jawab Questia, sang pertanyaan itu.
Bagaimana dengan kesenjangan sosial yang diciptakan oleh kekayaan dan kemiskinan? Tanya rakyat jelata
Bangsa baru yang kita lahirkan, tidak mengenal kaya dan miskin. Bangsa baru berhak menetapkan jumlah kekayaan setiap orang, dan dari orang ke orang jumlah kekayaan itu disamaratakan. Kelebihan dari jumlah pendapatan dan kekayaan akan dihibahkan pada sektor-sektor penting bangsa ini, seperti pendidikan, kesehatan, transportasi dan telekomunikasi, dan dalam jangka waktu tertentu masyarakat bangsa ini tidak perlu lagi susah-susah untuk bayar ongkos pendidikan, kesehatan, transportasi dan telekomunikasi. Jelas Pecunia
Moralitas dan kejahatan? Tanya penegak hukum
Untuk sekarang, segala macam kejahatan diampuni, dan segala macam kesalahan dipulihkan. Cap-cap bromocorah tidak akan lagi kita kenakan pada manusia. Moralitas Antrophos hanya berlandaskan pada solidaritas. Semua kita sama, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah, tidak ada kaya atau miskin, tidak ada baik atau buruk, tidak ada terang atau gelap, tidak ada tuan atau hamba, tidak ada laki-laki atau perempuan. Semua sama. Sanksi hukum bagi yang melanggar hanya satu, yaitu hukuman mati! Jawab Philos
Tidak bisa, hukuman mati melecehkan manusia, dan karena itu merendahkan derajat kaum Antrophos! Protes ahli pikir
Bangsa Antrophos mengenal adanya reinkarnasi. Hanya kehidupan yang perlu kita takutkan dan bukan kematian, sebab kematian merupakan sebuah peralihan, reinkarnasi, seperti daun kering yang rontok dan mengurai menjadi jasat renik, memberi makan pada pohon dan tumbuh-tumbuhan, niscaya kematian membuat kita dilahirkan kembali secara baru, menjadi Antrophos yang agung dunia perkasa, Antrophos yang memiliki kekuatan melebihi seratus ribu prajurit dan dapat menerobos secara enteng benteng paling kuat di dunia. Hanya kematian yang kita harapkan, karena justru di situlah kebahagiaan tertinggi kita, moralitas hakiki kita, yaitu menjadi superman yang bernama Antrophos, tegas Questia
Jadi hidup itu sebuah proses menuju kematian dan dengan mati kebahagiaan tertinggi kita sebagai manusia terpenuhi, menjadi Antrophos? Tanya orang tua
Benar! Jawab Pecunia
Siapa itu Antrophos, kalau begitu?
Roh yang membahagiakan
Penguasa baru
Titik sempurna evolusi Darwin
Manusia Superman
***
Kau lihat Jefta, mereka sama sekali tidak menyebut namamu sebagai dewa tertinggi, padahal kau yang pertama menciptakan Antrophos, ejek Phobia
Aku Antrophos pertama,jawab Jefta
Kau dikhianati oleh sabahat-sabahatmu sendiri, Jefta! Ejek Phobia lagi
Tidak, aku rasa tidak, mereka perintis pertama dari apa yang kuhayati dan kuajarkan, mereka tidak mengkhianatiku! Bela Jefta
Mereka yang menikmati popularitas, kenyamanan, kenikmatan hidup, kekuasaan tertinggi, menciptakan aturan seenaknya, merekalah Antrophos sesungguhnya, karena mereka masih di dunia nyata, mereka hidup dan kau telah mati!
Enyah kau Phobia, mati kau! Dan Jefta pun mencekik Phobia hingga nafas terakhir.
Seratus persen kesadaran Jefta pulih kembali. Dunia sekitar berlangsung apa adanya!(*)

MOCHEIA






Bergerak liar masyarakat itu di tengah sebuah tugu hitam. Boneka pahatan yang mau dimandikan dalam upacara itu tegak di tengah-tengah. Namanya Moche. Aku sendiri tidak tahu kenapa disebut demikian, tapi menurut tradisi, itu nama nenek moyang kami. Moche berjenis kelamin laki-laki. Tidak ada yang protes kenapa harus laki-laki dan bukan perempuan. Yang membuat sebuah suku menjadi masyarakat kan perempuan. Dia yang melahirkan dan memperbanyak generasi sebuah suku. Selayaknya seorang perempuan dihormati. Atau sekurang-kurangnya, sebuah boneka pahatan berjenis kelamin perempuan harus disandingkan di samping Moche. Pernah memang aku bertanya tentang hal ini. Mula-mula kepada Pornea, kakak laki-lakiku.
Pornea, kau tahu kenapa Moche berjenis kelamin laki-laki? Tapi aku tidak memperoleh jawaban yang memadai.
Itu sudah tradisi turun temurun. Tidak perlu dipertanyakan lagi. Kata Pornea kepadaku. Lantas aku bertanya pada Namate, ayahku dan sekaligus kepala masyarakat ini.
Ayah, kenapa Moche itu laki-laki?
Kepala suku dulu adalah laki-laki, bukan perempuan. Yang terkuat dari yang terkuat. Dan Moche adalah yang paling kuat dari kaumnya waktu itu. Dia adalah pendiri masyarakat ini. Kamu harus paham itu. Jawab ayah kepadaku
Moche punya istri kan, ayah? Kenapa tidak sekalian kita menghormati istri Moche? Tanyaku lagi
Perempuan itu kaum kelas dua, tugas mereka adalah melahirkan dan melayani kaum laki-laki.
Kasihan perempuan. Kataku.
Kamu terlalu dekat sama Bunda. Tambah ayahku
Mereka sekarang lebih liar dari yang biasa. Suara cha cha cha membuncah, disertai ringkihan dan pekikan. Semua seperti kerasukan. Aku duduk di samping kiri ayah. Ayah di tengah. Dan sebelah kanannya, Pornea. Tentang duduk, memang selalu punya aturan. Di kanan, selalu anak sulung dan sebelah kiri, anak bungsu. Sebuah aturan yang membingungkan, seandainya tidak kutanyakan kenapa harus begitu.
Bunda, kenapa harus ada aturan duduk seperti itu? Tanyaku pada satu kesempatan
Kamu anak bungsu, sementara Pornea adalah yang sulung. Yang kanan menunjukkan ahli waris, siapa yang akan menggantikan ayah berikutnya. Jawab Bunda.
Aku?
Kamu punya kedudukan lain. Yang Mulia dan Dipertuan Agung Bergelar Pelerek, Hakim yang adil.
Bunda? Bunda hanya tersenyum. Ia menatapku dalam-dalam. Memelukku tidak seperti biasanya. Ada sedikit perasaan terluka, tercabik mendengar pertanyaan polosku itu. Lantas ia berbisik.
Aku yang melahirkan dan membesarkanmu. Ingat itu Somus.
Ya, kau adalah Bundaku
Terima kasih, Somus
Tiba-tiba saja para perempuan, termasuk Bunda meninggalkan arena. Mereka yang duduk terpisah dari laki-laki itu, kini semakin jauh dari masyarakatnya sendiri, dari laki-laki yang dilahirkan sebagai putera-putera mereka, dan laki-laki yang disebutnya suami mereka. Satu per satu mereka berlalu, dan masuk ke Pidra, sebuah pondok khusus untuk para perempuan berkumpul, kalau ada upacara seperti ini.
Acara inti dari permandian ini akan segera dimulai. Diawali dengan bunyi gendang, satu-satu penuh wibawa. Ayah mengangkat Moche, lebih tinggi dari semua yang ada. Suasana menjadi sunyi. Tiada satupun yang bergerak. Diam dan hening. Bersamaan dengan gerak turun Moche, semua menyembah ke bawah, rata dengan tanah. Ayah menyanyikan sebuah lagu yang sama sekali belum kupahami, dan sesekali para laki-laki itu memekik-mekik, menyambut nyanyian ayah. Kemudian ayah masuk ke Kastar, tempat permandian suci dan mulai memandikan Moche. Semua laki-laki menyanyikan lagu kemuliaan.
Sementara itu, di Pidra, beberapa perempuan menjerit kesakitan. Mereka menerima takdir mereka sendiri atas nama perempuan yang dijelmakan dalam kodrat mereka. Jeritan itu datang dari para perempuan yang sudah melahirkan dua orang laki-laki, tak terhitung perempuan. Yang penting dua orang laki-laki. Yang satu sulung, yang lebih dulu dilahirkan, entah untuk yang ke berapa dari perempuan, dan yang lainnya bungsu. Sesudah itu, indung telur dari para perempuan itu akan diambil dalam upacara Pakso, bersamaan dengan upacara permandian ini.
Sakitnya minta ampun. Kata Bunda waktu kutanya tentang hal itu
Bunda ditusuk begitu?
Ya, bagian yang ini dirobek dengan paksa. Kata Bunda lagi, sambil menunjukkan padaku bekas luka cukup panjang yang menggores di bagian bawah pusatnya.
Syukurlah Somus, kamu tidak dilahirkan sebagai perempuan
Lalu di mana kakak atau adik perempuan Somus?
Kali ini Bunda tidak bisa lagi menyembunyikan penderitaan hatinya di depanku. Genangan air mata yang sering kali menggayut tatkala mencoba membuka lembaran pahit dalam hatinya, kini mengalir pelan-pelan, kemudian semakin deras.
Bunda menangis, kenapa? Tanyaku
Sesaat Bunda diam. Membiarkan semua penderitaan itu mengurai bersama air mata yang jatuh. Ia kemudian menghela napas dalam-dalam, mengangkat mukanya padaku, lurus dan tajam. Aku tak mampu beradu pandang sama Bunda. Ada aura lain yang merasuk ke dalam tubuh Bunda. Aku jadi takut dan tertunduk.
Kamu mau tahu, Somus?
Aku hanya bisa menggangguk, dan tiada kata-kata yang sanggup keluar dari mulutku. Semua terasa terkuci oleh hawa lain yang sedang melingkupi aku dan Bunda.
Kamu mau tahu, Somus? Tanya Bunda lagi
I-ya. Jawabku terbata-bata
Pandang mata Bunda, Somus. Kata Bunda sambil memegang pundakku
Selain kamu dan Pornea, masih ada satu lagi. Dia kakakmu dan adik Pornea. Jadi kamu tiga bersaudara. Namanya Ambria.
Di mana Ambria, Bunda? Aku berani bertanya
Itu sudah menjadi takdirnya
Takdir?
Ya, takdir dari seorang bayi perempuan yang dilahirkan dari keluarga seorang pemimpin masyarakat, seperti ayahmu.
Aku belum mengerti.
Setiap pemimpin masyarakat, hanya boleh mempunyai anak laki-laki. Dua orang laki-laki, dan tidak boleh ada satu pun yang berjenis kelamin perempuan. Jika bayi perempuan yang dilahirkan, hal itu dianggap sebagai aib untuk masyarakat ini. Kamu tahu kan Somus, laki-laki yang memegang tradisi kepemimpinan masyarakat kita. Mereka tidak menginginkan adanya pemimpin perempuan. Karena itu bayi perempuan dari keluarga pemimpin dianggap sebuah aib. Jelas Bunda
Jadi. Aku menyimpulkan
Itulah takdirnya
Jadi, Ambria dihanyutkan di sungai suci. Tidak bisa...tidak bisa, ini tidak adil!
Itu hukum adat di sini, Somus. Kita hanya menyembahnya saja.

Somus dan Pornea, dua putera dari seorang bunda, punya kebencian yang sama terhadap ayah mereka. Somus mencintai bundanya, karena itu sangat membenci ayah dan perlakuannya pada Bunda. Pornea, boneka ayah, juga sangat membenci ayahnya, karena selalu berada di bawah bayang-bayang primordial ayahnya itu. Diam-diam mereka menyusun sebuah rencana. Yang tak terduga. Dan sama sekali bukan tujuan mereka untuk mengubah takdir masyarakatnya sendiri. Kepuasaan dari rasa benci yang dalam, hanya itu yang mau mereka capai.
Aku takut
Apa yang kau takutkan, Somus? Tanya Pornea
Kita telah membunuh ayah. Masyarakat akan bangkit mengejar kita. Mereka akan balas dendam terhadap kita! Tambahku
Tidak mungkin terjadi. Sekarang kitalah yang berkuasa. Kitalah ahli warisnya. Mereka tentu saja percaya kalau ayah mati diterkam binatang buas. Dan mereka akan memberikan jiwa mereka kepada kita. Kitalah penguasa masyarakat ini! Kata Pornea
Tapi bukan itu rencana kita. Kita hanya mau membunuh ayah untuk menyelamatkan bunda. Supaya bunda bebas dari belenggu ayah kita, tidak lagi diperlakukan rendah di hadapan mata kita. Supaya para perempuan di sini pun mengalami hal yang sama.
Kau keliru Somus!
Kau yang keliru Pornea!
Ka-u, tidak mau jadi penguasa dari masyarakat ini?
Pornea, justru kau telah melenceng dari maksud sesungguhnya!
Persetan!
Keterlaluan Pornea, kau mengkhianatiku dan masyarakat ini!
Ah!teriak Pornea
Ya, mati kau juga dan susullah ayah kita!Seruku dengan pedang bersimbah darah.
Sekonyong-konyong datang sang Bunda.
Somus, apa yang kau lakukan terhadap Pornea? Jerit Mimes
Aku telah membunuhnya, Bunda!
Teganya kau teteskan darah saudaramu sendiri oleh pedang di tangan?
Dia telah membunuh ayah, Bunda!
Namate juga mati?
Ya, di hutan. Dan mayatnya dihanyutkan ke sungai suci.
Somus, kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu di depan sidang yang mulia, Si Tuan Agung Pelerek.
Bunda?
Ya, segera bersiaplah kau, tanggalkan kebesaran masyarakat ini dan tradisimu sebagai laki-laki di sini!
Bunda, ini semua demi Bunda.
Demi aku, maksudmu?
Kami mau membebaskan Bunda dari ayah, karena tak tahan melihat Bunda diperlakukan sedemikian hina, sama rendahnya dengan seorang hamba
Itu sudah menjadi tradisi turun temurun di sini, kau tidak bisa melawan
Kita hanya butuh perubahan
Apa yang kau pikirkan, Somus?
Sekarang tidak ada siapa-siapa lagi. Tampuk kepemimpinan sudah kosong. Ayah telah tiada, berikut ahli warisnya, Pornea pun telah mati. Sekaranglah saatnya, Bunda. Nasib kaum perempuan harus diubah. Masyarakat harus diubah. Dan itu semua ada di tangan Bunda!
Aku?
Siapa lagi!
Saat yang ditunggu-tunggu itu telah datang
Lalu kau?
Kita butuh darah segar untuk mengembalikan ketidakteraturan yang sudah terjadi. Darah ayah dan Porneo harus kita tebus.
Darah siapa lagi
Darah seorang pelaku
Tidak, ti-dak Somus
Biar kami bersatu dan tinggal dalam tubuhmu
Tidaakk! Aku tidak mau kehilangan kamu lagi. Aku telah kehilangan Namate, Pornea, dan Ambria. Tidak kamu!
Demi kekuasaan yang mumpuni, perlu tiga jiwa laki-laki untuk melengkapinya. Namate tetap suami ibu, aku dan Pornea tetap anak-anak Bunda. Sekarang aku telah siap. Supaya kembali kita bersatu, dalam jiwamu kita membentuk getho
Tapi masyarakat tidak akan menyetujui hal ini!
Getho, peleburan tiga jiwa laki-laki dalam satu keluarga pemimpin, merupakan hukum tertinggi pemilihan seorang pemimpin tanpa ahli waris. Dan itu tidak memandang siapa. Mulai sekarang tidak ada lagi Moche. Yang ada adalah Mocheia, seorang perempuan. Bunda junjunganku yang agung, terimalah persembahan jiwaku
Oh Somus, kemari Somus, mendekatlah padaku. Aku mencintaimu, Somus. Kamu anak yang berbakti. Bungsu yang senantiasa mencintai Bunda. Kemarilah, Somus!Ajak Mimes.
Somus mendekat. Pedang yang bersimbah darah itu beralih ke tangan Mimes. Somus memeluk Bundanya yang tercinta.
Bun-da.....B-u-n-d-a!
Somus pun mati di tangan pedang yang sama.(*)







[1] Seluruh isi ceritera dan para pelaku, berikut nama dan istilah yang dipakai di dalam ceritera ini adalah rekaan belaka. Kalau pun ada kesamaan nama dan istilah, hal itu bukanlah upaya yang disengajakan, jauh dari sebuah motif untuk mengurangi nilai dari nama dan istilah tertentu, atau bahkan menyinggung orang atau kelompok tertentu.